Siang itu, perjalanan darat dari Tenggarong (Kutai Kartanegara) menuju Kuntap, sebuah desa kecil tempat pemukiman Dayak Benuaq dan Tunjung, sedikitnya membutuhkan waktu sekitar dua setengah jam. Jalan aspal yang kurang begitu halus dan berdebu, melintasi perbukitan dengan penuh tikungan tajam menyebabkan perjalanan tidak mungkin dipercepat. Di desa itulah Supinah, seorang dukun balian tinggal di sebuah rumah kecil persis di pinggir jalan poros desa, dan hidup sangat sederhana. Dengan pakaian apa adanya, ia menerima Srinth!l dengan sangat ramah, penuh humor, dan menyajikan cerita panjang lebar tentang dunia balian maupun tentang dirinya sebagai seorang dukun dan kaitannya dengan dunia luar (agama resmi dan negara).
Supinah (43 thn) yang telah mengalami dua kali perkawinan memiliki 7 orang anak, seluruhnya dari suami kedua. Meski kakek-neneknya adalah penganut Kaharingan yang patuh, kedua orang tua Supinah telah memeluk Islam, dan mungkin karena itu Supinah menikah (pertama) dengan seorang muslim dari kalangan Muhammadiyah, sebuah varian yang oleh Supinah sendiri – dan umumnya orang Dayak di Kuntap – dikategori Islam baru. Selama menjadi istri seorang muslim Muhamadiyah, ia mengaku menganut Islam, meski tidak pernah konsisten dengan ajaran-ajaran seperti shalat dan puasa.
Kini, ia hidup bersama suami kedua yang menikahinya 1973 yang lalu. Sebagian dari 7 anaknya telah menikah dan tinggal di tempat lain. Rumahnya yang diapit oleh dua gereja “Kemah Injil Indonesia” yang berdekatan dan suaminya yang patuh menganut Kristen mengesankan bahwa Supinah adalah bagian dari komunitas gereja. Tetapi, ternyata, seperti yang diakuinya berkali-kali, ia tidak menganut agama Kristen apalagi Islam. Baginya, agama tidak lebih dari sebuah baju yang diperlukan untuk menutup badan; kapan saja berganti atau tidak sama sekali memakai tidaklah menjadi soal.
Ia pernah menganut Islam (lama) dan pernah pula menganut Kristen selama kurang-lebih 9 tahun. Tetapi setelah itu, ia meninggalkan sama sekali dan memilih tidak beragama. Suaminya (seka-rang) membebaskan memilih dan menganut Kristen, persis seperti halnya ia mem-bebaskan anak-anaknya untuk menganut agama tertentu; sebagian menganut Kristen dan sebagian lain menganut Islam. Supinah tampak bukan saja tidak terbebani, malahan justru merasa bangga dengan pluralitas agama yang dianut keluarganya.
Sebagai seorang balian, ia tampak sangat longgar, cair, dan moderat dalam memandang dan menyikapi apapun yang hadir dari luar. Ia menerima dengan baik dan apresiatif terhadap siapapun yang datang meminta bantuan pengobatan. ”Kalau yang datang orang Kristen, syarat untuk upacara pengobatannya terdiri dari 5 ekor babi, 5 ekor ayam (puitih, merah, dan hitam), nasi, dan daun kelapa. Sementara kalau yang datang adalah seorang muslim, babinya dihilangkan. Demikian pula tempat pengobatan, biasanya kalau Kristen di Lamin, sedangkan kalau muslim di rumah ini,” jelasnya kepada Srinth!l. Ia juga tidak pernah memasang tarif bagi jasa pengobatannya. Tetapi, ia mengakui, biasanya orang memberi antara Rp. 20 ribu sampai Rp. 100 ribu untuk sekali pengobatan, belum termasuk biaya upacara yang harus dipikul si pasien.
Supinah juga menceritakan bahwa mantra-mantra yang digunakan bersumber dari agama. Proses penyembuhan dalam balian, menurut Supinah, berkaitan bahkan bergantung pada 40 malaikat dan 40 nabi, tergantung apa penyakitnya, karena masing-masing mempunyai keistimewaan sendiri-sendiri. Nabi Muhammad, misalnya, adalah nabi untuk meminta obat penawaran, sementara Nabi Isa untuk meminta air untuk kesehatan. Bahkan Supinah mengakui bahwa ayat kursi juga sering dipakai sebagai mantra dalam balian dalam mengobati penyakit tertentu.
Supinah yang telah 20 tahun menjadi dukun balian mengakui bahwa untuk menjadi seorang balian, seperti yang dialaminya, tidak segampang membalik tapak tangan. Ia harus hafal silsilah para Sangiang (theogony) dan manusia, sejarah suku, hukum-hukum adat, sejarah alam semesta, dan lika-liku perjalanan para roh sampai tiba di negeri asal-usul para leluhur. Menjadi seorang balian merupakan panggilan Illahi. Salah satu tanda bahwa seseorang telah dipilih oleh Sangiang untuk menjadi balian adalah Sangiang masuk ke dalam tubuhnya sampai ia mengalami trance. Sangiang inilah yang menuntun untuk bisa menghafal tentang silsilah, sejarah, hukum-hukum, dan peristiwa-peristiwa suci walau harus dilakukan berhari-hari.
Balian yang bergaya hidup sederhana ini mengaku telah banyak menyembuhkan penyakit yang menimpa penduduk di berbagai tempat di Kutai Kartanegara khususnya. Ia merasa puas dengan itu, dan ingin tetap menjadi balian selamanya. Meski konsistensi itu harus ditebus dengan berbagai rintangan. “Pernah saya di maki-maki oleh beberapa ulama dan pendeta atau pastur yang menganggap balian sebagai praktik kekafiran. Bahkan saya juga sering dipanggil polisi karena dianggap tukang tenung dan santet,” kisahnya tanpa ragu. “Biarlah saya begini, terus menjadi balian. Biarlah pula saya tidak memeluk agama. Dan biarlah saya tidak masuk surga karena itu semua,” tandasnya sambil tersenyum.
3 komentar:
minta alamat dan no hpnya bu Supinah boleh ndak?
Posting Komentar