Powered By Blogger

Minggu, 26 Juni 2011

KERAJAAN PINANG SENDAWAR MERUPAKAN REPRESENTASI KERAJAAN KUTAI KERTANEGARA.

Oleh ; Naftali,S.Ikom.

Apa yang dinamakan kerajaan Pinang Sendawar yang pernah ada di Kutai Barat, Kalimantan Timur,hanyalah merupakan representasi dari kerajaan Kutai Kertanegara.Sebab pada umumnya suku Dayak yang berdiam di Kalimantan jaman dahulu, hanya mengenal sistem pemerintahan yang dipimpim oleh kepala suku,demikian juga dengan suku dayak Tunjung.

Sistem pemerintahan kerajaan awal mulanya diperkenalkan oleh seorang keturunan bangsawan Kutai Kertanegara yang bernama Aji Tulur Jejangkat. Dialah yang menjadi raja pertama suku Dayak Tunjung. Sewaktu masih bayi Ia dititipkan oleh orang tuanya agar dirawat oleh pemimpin suku dayak Tunjung yang bernama Sengkreak .Kisah datangnya Tulur Aji Jangkat dapat kita baca pada cerita legenda suku Dayak Tunjung. Setelah beranjak dewasa Aji Tulur Jejangkat yang telah memiliki pengetahuan, budaya, serta tradisi, masyarakat suku dayak Tunjung,mengangkat dirinya menjadi raja dan menamakan kerajaan yang didirikan itu dengan sebutan kerajaan Pinang sendawar.

Menurut analisa saya,peristiwa tersebut terjadi pada sekitar abad ke-13 Masehi. Hal ini berdasarkan cerita sejarah yang ditulis oleh kerajaan Kutai Kertanegara dan tradisi sejarah lisan suku dayak Tunjung. Putra bungsu Aji Tulur Jejangkat yang bernama Puncan Karna, menikahi adik perempuan raja Kutai Kertanegara Maharaja Sultan yang bernama Aji Putri Dewi .Dari catatan sejarah Maharaja Sultan memerintah kerajaan Kutai Kertanegara pada tahun 1370-1420.

Ada benang merah yang terputus, antara peristiwa yang satu dengan yang peristiwa yang lain, antara fase pemerintahan dengan sistem kepala suku dengan sistem kerajaan.Hal menjadi sebuah pertanyaan yang mendasar, kapankah seorang Aji Tulur Jejangkat pernah belajar dan mengenal sistem kerajaan?. Seperti yang telah diketahui bahwa Sendawar terletak di pedalaman Sungai Mahakam,pada jaman dahulu wilayah ini sangat terisolir dari pengaruh dunia luar.Sehari-hari orang tua angkat Tulur Aji Jangkat adalah seorang petani,pemburu, dan hidup mengumpulkan hasil hutan, mereka belum mengenal dengan apa yang dinamakan sistem kerajaan,apalagi mengajarkan system pemerintahan kerajaan. Sangat mustahi bagi Aji Tulur Jejangkat mengetahui dengan sendirinyai sistem pemerintahan kerajaan,tanpa belajar dan berkontak dengan dunia luar. Pastilah ada tangan-tangan yang tak kelihatan yang mengatur skenario dibelakang layar.


Selain itu dari sisi nama, nama ‘’ Aji Tulur Jejangkat,adalah suatu nama yang tidak lazim dimiliki asli suku DayakTunjung. Nama itu mengandung perpaduan antara unsur budaya Jawa dan Melayu. Aji adalah suatu gelar milik bangsawan keturunan raja Kutai Kertanegara. Masyarakat suku Dayak Tunjung tidak memiliki gelar bangsawan itu. Yang ada,hanyalah sebutan bagi seorang pemimpin yaitu; “Hajiin”. Itupun hanyalah sebutan yang umum,bukan gelar khusus bagi seorang keturunan seorang raja. Tulur,berasal dari kata diulur,dalam bahasa suku Dayak Tunjung adalah, “kulo atau tengulo”. Sedangkan,”Jejangkat”,berasal dari kata diangkat/adopsi,dalam bahasa suku Dayak Tunjung adalah” muhiiq atau temuhiiq”. Jadi tepatnya, nama Aji Tulur Jejangkat dalam bahasa suku dayak Tunjung adalah: ”Hajiin Tengulo Temuhiq “. Dari segi Etimologi bahasa dapatlah diketahui bahwa Aji Tulur Jejangkat bukanlah seorang yang berasal dari suku dayak Tunjung, melainkan seseorang yang berasal dari keturunan bangsawan Kutai Kertanegara.


Apa lagi posisi kerajaan Pinang Sendawar terletak ditepi sungai Mahakam. Suku Dayak Tunjung sudah lama meninggalkan tradisi membangun tempat tinggal atau lamin ditepi sungai Mahakam.Memang pada mulanya suku Dayak Tunjung berdiam tepi sungai Mahakam,dalam bahasa suku Dayak Tunjung “Diapm diq pampakng Mahakapm”. Namun tradisi itu sudah ditinggalkan,karena daerah tepi Mahakam adalah daerah yang sangat terbuka dari serangan musuh dan pengayau. Malah Sebaliknya Aji Tulur Jejangkat melakukan hal demikian,untuk memudahkan memungut dan mengumpulkan upeti lalu menyetorkan ke Kutai Kertanegara.
Setelah Aji Tulur Jejangkat wafat,anaknya Swalas Guna menggantikan kedudukannya sebagai raja Pinang Sendawar. Sepeninggal kedua orang tersebut pengaruh kerajaan Kutai Kertanegara semakin berkurang. Maka mulailah raja-raja Tunjung yang menggantikannya tidak rutin lagi membayar upeti /kembang tahun dan berpartisifasi dalam kegiatan kerja paksa / suakaq ke Kutai Kertanegara.

Karena kedua alasan diatas menjadi penyulut kemarahan sang penguasa tunggal Sungai Mahakam. Selain itu kerajaan Sendawar yang dipimpim seorang raja wanita yang bernama Men Uyang menjadi potensi ancaman bagi kerajaan Kutai Kertanegara. Daerah kekuasannya membentang hampir seluruh tanah Sendawar. Kutai Kertanegara rupanya ingin tetap berambisi menjadi penguasa tunggal sepanjang aliran sungai Mahakam.


Pada abad ke-15 Masehi Kutai Kertanegara mengirimkam pasukannya ke hulu sungai Mahakam untuk menghukum daerah yang membangkang itu. Serbuan itu mengakibatkan benteng Men Uyang yang terbuat dari kayu itu hangus terbakar,penduduk berlarian kocar kacir menyelamatkan diri ke hutan,yang tewas tak terhitung jumlahnya,sedang raja wanita itu raib tak ditemukan jasadnya. Strategi yang dipakai oleh tentara Kutai Kertanegara adalah dengan menghamburkan manik-manik disekitar benteng, sehingga penduduk menjadi lengah , lupa akan tugasnya mempertahankan benteng. Karena peristiwa itulah Men Uyang diberi julukan “Raja Manik”.
Ketikng nama suami Raja Manik,yang selamat dari serangan itu, bertekad menuntut balas,Ia mengumpulkan rakyat Sendawar yang masih tersisa dan berpesan kepada rakyat agar tetap menjaga wilayah tanah Tunjung. Lalu berangkatlah ia membawa empat orang panglimanya ( Pemanuq dlm.bhs.Tunjung )pergi ke Kutai Lama. Ketikng sendiri tewas dalam suatu pertempuran melawan tentara Kutai Kertanegara. Namun keempat Panglimanya dapat pulang ke tanah Sendawar. Seandainya tidak ada perjanjian damai dari penguasa Kutai Lama,maka keempat orang yang ahli bertempur itu tidak akan pulang ke tanah Sendawar sampai terbalaskan dendam mereka. Isi dari perjanjian itu sebagai berikut;

1.Pihak kerajaan Kutai Kertanegara mengembalikan daerah taklukkanya tanah Sendawar,kepada suku dayak Tunjung.


2.Kerajaan Kutai Kertanegara tidak akan lagi menyerang tanah Sendawar.

Akan tetapi perjanjian damai itu sebenarnya muslihat Kutai Kertanegara,daerah hulu sungai Mahakam itu masih tetap dalam cengkramannya. Karena tidak mau yang dianggap fihak melanggar perjanjian serta tidak mau mengambil resiko yang besar, maka penguasa Kutai Kertanegara mengangkat penduduk lokal suku dayak Tunjung sebagai perwakilanya.Mereka ini mempunyai tugas-tugas sebagai berikut;

1.Mengkoordinir dan mengumpulkan upeti ( Kembang tahun ) lalu diserahkan dan dibawa kepada Kutai Kertanegara setiap tahunnya.

2.Menggerakkan rakyat agar bekerja paksa di istana Kutai Kertanegara dan sekitarnya setiap tahunnya.Gunung Pedidik di kota Tenggarong adalah sisa bekas peninggalan kegiatan itu.

Atas jasa dan pengabdian terhadap kerajaan Kutai Kertanegara itu,maka penguasa/raja menganugerahkan gelar kehormatan mereka.Nama gelar-gelar itu adalah;


1.Temenggung

2.Raden

3.Mangku

4.Singa Mas / Macan

5.Karti dll.

Kesimpulan : Pertama tidak semua masyarakat suku dayak Tunjung meyakini bahwa kerajaan Pinang Sendawar merupakan manefestasi dari kerajaan suku dayak Tunjung. Melainkan hal itu merupakan representasi dari kerajaan Kutai Kertanegara. Walaupun ada upaya yang intensif untuk menggiring opini masyarakat selama berabad-abad agar mempercayai hal itu. Kedua membayar kembang tahun dan berpartisifasi dalam kegiatan suakaq tidak berasal dari nilai-nilai budaya suku dayak Tunjung,melainkan merupakan warisan dari bangsa Majapahit.

*sumber: Dari tradisi sejarah lisan suku Dayak Tunjung

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More