ASAL MULA
Secara umum seluruh penduduk dikepulauan nusantara disebut-sebut
berasal dari China selatan, demikian juga halnya dengan Bangsa Dayak.
Tentang asal mula bangsa Dayak, banyak teori yang diterima adalah teori
imigrasi bangsa China dari Provinsi Yunnan
di Cina Selatan. Penduduk Yunan berimigrasi besar-besaran (dalam
kelompok kecil) di perkirakan pada tahun 3000-1500 SM (sebelum masehi).
Sebagian dari mereka mengembara ke Tumasik dan semenanjung Melayu,
sebelum ke wilayah Indonesia. Sebagian lainnya melewati Hainan, Taiwan dan Filipina.
Menurut H.TH. Fisher, migrasi dari asia terjadi pada fase pertama zaman Tretier. Benua Asia dan pulau Kalimantan merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras Mongoloid dari Asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”.
Sebelum kedatangan islam ke kalimantan belum ada istilah Dayak dan
istilah melayu. Semua manusia penghuni pulau borneo merupakan
manusia-manusia yang saling berkekerabatan dan bersaudara ( Bangsa Dayak
). Penduduk-penduduk yang tinggal dipesisir pantai oleh penduduk yang
tinggal di pedalaman disebut sebagai Orang Laut sebaliknya penduduk yang tinggal di pedalaman oleh penduduk yang tinggal di pesisir pantai di sebut Orang Darat
. Jauh sebelum agama Islam datang ke borneo Bangsa Dayak sudah
mempunyai kerajaan-kerajaan. Misal kerajaan Nek Riuh ( Mbah Riuh ) dan
Kerajaan Bangkule Rajakng serta kerajaan bujakng nyangkok di bagian
barat kalimantan . Islam ke borneo di sebarkan oleh orang-orang arab
atau gujarat, namun mayoritas oleh orang melayu sumatra, karena itu oleh
orang Dayak agama islam disebut agama melayu, istilah islam sendiri jaman dahulu tidak sepopuler istilah " agama melayu". Sejak itulah setiap orang Dayak pesisir yang masuk islam disebut masuk melayu atau jadi orang melayu. namun oleh orang Dayak pedalaman, saudara mereka yang masuk islam disebut sebagai " senganan" di kalimantan bagian barat dan "halog" di kalimantan bagian timur. Dikarenakan adat budaya Dayak umumnya bertentangan dengan agama islam
maka hal ini membuat masyarakat Dayak pesisir yang telah menjadi islam
tadi meninggalkannya dan mengadopsi adat budaya para pendahwah islam (
orang melayu) namun tidaklah semua adat aslinya di tinggalkan, cukup
banyak juga adat asli ( adat budaya Dayak ) yang di modifikasi agar
selaras dengan islam, seperti tepung tawar, betangas, tumpang seribu dan
lain-lain. selain masyarakat Dayak pesisir pantai, masyarakat Dayak
yang tinggal di kota-kota kerajaan juga akhirnya masuk islam dengan
alasan mengikuti jejak Rajanya. maka mulailah adat budaya melayu
merasuki adat budaya Dayak dalam keraton-keraton. Pada umumnya
kerajaan-kerajaan di kalimantan di dirikan oleh orang-orang yang
berdarah daging Dayak asli seperti pada kerajaan mempawah oleh Patih
Gumantar, kerajaan Kutai ( Kerajaan Dayak Tunjung - Dayak Benuaq
) oleh Kundung atau Kudungga dan kerajaan-kerajaan lain. sementara
kerajaan-kerajaan yang di dirikan oleh manusia-manusia yang berdarah
daging blasteran Dayak dengan pendatang seperti kerajaan pontianak (
blasteran Dayak dan arab ). kerajaan sanggau, matan, ketapang dan
sintang ( oleh blasteran Dayak Jawa ). sejak dahulu dalam pergaulannya
dengan sesama suku Dayak dan dengan suku-suku luar kalimantan orang
Dayak telah menggunakan bahasa melayu, hal ini terjadi mengingat suku
dayak hampir setiap sub sukunya mempunyai bahasa sendiri-sendiri. Hal
ini tentu menyulitkan dalam berkomunikasi, tentunya karena alasan
semacam ini jugalah yang menyebabkan bahasa melayu dijadikan bahasa
persatuan Indonesia. Bahasa-bahasa melayu di kalimantan dikarenakan
seluruh manusia penuturnya mempunyai bahasa yang berbeda ( Manusia Dayak
) meyebabkan bahasa melayu tersebut juga mempunyai banyak versi sesuai
daerah asalnya, misal di daerah sanggau kapuas dikarenakan bunyi vokal
bahasa Dayak di daerah tersebut kebanyakan berbunyi vokal " o " maka
bahasa melayunya juga cenderung bervokal " O " misal kata ada akan di ucapkan menjadi ado, kata Ngapa ( Mengapa ) di ucapkan menjadi ngapo
dan lain sebagainya. sementara di daerah kapuas hulu, sintang dan
ketapang bahasa melayunya sangat mendekati bahasa Dayak, cukup banyak
istilah dalam bahasa Dayak asli yang masih di pakai seperti Nuan, sidak
dan lain-lain. Di bagian barat kalbar ada istilah Terigas yang asalnya
dari kata Tarigas dan istilah-istilah lainnya.
Di daerah selatan Borneo Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan.
Dalam tradisi lisan Dayak didaerah itu sering disebut ”Nansarunai Usak
Jawa”, yakni kerajaan Nansarunai dari Dayak Maanyan yang dihancurkan oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389.[1]
Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar,
sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat
pengaruh Islam yang berasal dari kerajaan Demak bersama masuknya para
pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).
Sebagian besar suku Dayak di wilayah selatan dan timur kalimantan yang memeluk Islam tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Amas
dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang
Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian
Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal
adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum).
Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa TionghoaSultan Hidayatullah I dan Sultan Mustain Billah.
diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun
1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang
pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Kunjungan tersebut pada masa
Kedatangan bangsa Tionghoa di selatan kalimantan tidak mengakibatkan
perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena
mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin.
Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa
Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen,
belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada
abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan
(termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok
pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750,
Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang
mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang
dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring,
cangkir, mangkok dan guci.[2]
PEMBAGIAN SUB-SUB ETNIS
Dikarenakan arus migrasi yang kuat dari para pendatang, Suku Dayak yang masih mempertahankan adat budayanya akhirnya memilih masuk ke pedalaman . Akibatnya, Suku Dayak menjadi terpencar-pencar dan menjadi sub-sub etnis tersendiri.
Kelompok Suku Dayak, terbagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih
jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku
Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip,
merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat,
budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut
suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di
tiap-tiap pemukiman mereka.
Etnis Dayak Kalimantan menurut seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975
dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat, terdiri
dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh
Kalimantan.[3]
DAYAK PADA MASA KINI
Dewasa ini suku bangsa Dayak terbagi dalam enam rumpun besar, yakni: Apokayan (Kenyah-Kayan-Bahau), Ot Danum-Ngaju, Iban, Murut, Klemantan dan Punan. Rumpun Dayak Punan merupakan suku Dayak yang paling tua mendiami pulau Borneo. sementara rumpun Dayak yang lain merupakan rumpun hasil asimilasi antara Dayak punan dan kelompok proto melayu ( Moyang Dayak yang berasal dari yunnan ) dari yunnan. Keenam rumpun itu terbagi lagi dalam kurang lebih 405 sub-etnis. Meskipun terbagi dalam ratusan sub-etnis, semua etnis Dayak memiliki kesamaan ciri-ciri budaya
yang khas. Ciri-ciri tersebut menjadi faktor penentu apakah suatu
subsuku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak.
Ciri-ciri tersebut adalah rumah panjang, hasil budaya material seperti tembikar, mandau, sumpit, beliong (kampak Dayak), pandangan terhadap alam, mata pencaharian (sistem perladangan), dan seni tari. Perkampungan Dayak rumpun Ot Danum-Ngaju biasanya disebut lewu/lebu
dan pada Dayak lain sering disebut banua / benua. Di
kecamatan-kecamatan di Kalimantan yang merupakan wilayah adat Dayak
dipimpin seorang Kepala Adat yang memimpin satu atau dua suku Dayak yang
berbeda.
Menurut Prof. Lambut dari Universitas Lambung Mangkurat, secara rasial, manusia Dayak dapat dikelompokkan menjadi :
CONTOH BUDAYA DAYAKRumah Panjang
Hampir semua Orang Dayak kecuali Dayak punan dan Dayak Meratus,
mempunyai rumah panjang di masa lampau. Rumah panjang merupakan gabungan
atau gandengan rumah-rumah tunggal warga Dayak dalam satu desa. Rumah
panjang di bangun agar persatuan atau kekuatan dari warga desa
terkonsentrasi, ketika menghadapi serangan dari luar kampung atau luar
kelompok ( Kayau ) atau serangan binatang buas. Rumah panjang di
dibangun dalam rupa rumah panggung yang memanjang. Semua material rumah
panjang dibuat dari kayu keras seperti kayu ulin atau belian. Mulai dari
sirap ( atap kayu ),tiang, rangka, dinding, lantai hingga tangga.
Dimasa kini rumah panjang yang tersisa sudah sangat sedikit. Umumnya
rumah panjang di bongkar karena warga penghuninya memilih membangun
rumah tinggal tunggal. Dayak Punan merupakan suku Dayak yang paling tua
mendiami Borneo. Berdasarkan data pengukuran karbon yang terdapat pada
fosil tengkorak yang pernah ditemukan di gua Niah Sarawak Malaysia [4] [5]
diketahui bahwa tengkorak yang sangat mirip dengan tengkorak orang
Dayak Punan tersebut telah berusia mencapai 40.000 tahun. Jadi dengan
berasumsikan bahwa tengkorak tersebut benar-benar tengkorak Dayak punan,
maka jelas bahwa Dayak Punan merupakan salah satu puak nenek moyang
Bangsa Dayak Borneo setelah berasimilasi dengan puak nenek moyang Dayak
yang berasal dari Yunnan. Dengan mengetahui betapa tuanya keberadaan
Dayak Punan di borneo ( bahwa mereka datang jauh sebelum peradaban
manusia planet bumi mengenal logam ), maka dapat dimaklumi jika mereka
kurang memiliki peradaban desa dan lebih menyukai cara-cara hidup
nomaden, karena itu rumah mereka dibangun seadanya ( umumnya hanya
berupa gubuk ). Meskipun demikian sampai detik ini hanya segelintir
warga Dayak punan saja yang masih senang hidup nomaden, sementara
kelompok mayoritas telah membangun pemukiman seperti masyarakat Dayak
Lain. Pada masyarakat Dayak Meratus ( Bukit ) rumah mereka di kenal dengan sebutan Balai. Istilah suku Dayak Bukit menurut Hairus Salim
dari kosa kata lokal di daerah tersebut istilah "bukit" berarti "bagian
bawah dari suatu pohon" alias pangkal pohon, yang juga bermakna "orang
atau sekelompok orang atau rumpun keluarga yang pertama yang merupakan
cikal bakal masyarakat lainnya". Kata Bukit yang bermakna " Pangkal " ini jelas menunjukan asal mereka yaitu berpangkal dari Banua bukit di Kalimantan Barat
jadi pada dasarnya istilah Bukit ini tidak bearti Bukit / gunung, hanya
saja sudah telanjur di maknai dengan arti orang gunung oleh orang luar.
Dayak Bukit merupakan masyarakat yang masih memegang adat tradisi
budaya Banjar lama. Suku Banjar sendiri jika diperhatikan dari bahasanya merupakan campuran antara bahasa Dayak Biaju, Dayak Maanyan, bahasa Jawa dan Bahasa Dayak Kendayan, Tetapi oleh sebagian kecil kelompok masyarakat Banjar yang fanatik menyatakan bahwa moyang mereka adalah melayu sumatera
hal ini dapat di fahami karena akibat pengaruh Islam ( bahwa di masa
lampau agama Islam oleh orang Dayak di sebut agama Melayu ). Jika kita
runut kembali sejarah terbentuknya suku Banjar yang bermula Sejak Kerajaan Banjar menjadi Islam, disitu akan kita ketahui bahwa Raja Banjarmasin yang menganut agama Islam pertama yaitu pangeran Suriansyah (seorang Blasteran Jawa-keling ) beliau di angkat menjadi raja oleh dua belas orang Demang Dayak Ngaju dan patih Masih, yang dikatakan sebagai seorang Patih melayu. Harap di ingat dan di fahami bahwa Pangeran Suriansyah sendiri pada waktu itu tidak pernah memerintahkan agar rakyatnya yang terdiri atas orang Biaju, orang Maanyan, orang Kendayan yang dikira melayu ( mengingat pada waktu itu istilah suku Kendayan / Kannayatn sendiri belum terbentuk [6], dan seperti yang telah di sebutkan di atas bahwa nama salah satu Banua Dayak Kendayan Kalimantan Barat adalah Banua bukit jadi jelas bahwa keturunan masyarakat Dayak Kendayan yang berasal dari Banua bukit inilah yang dikenal sebagai Dayak Bukit / Meratus di kalimantan selatan itu )[7]. dan sekelompok kecil orang jawa untuk merubah nama suku-nya. Patih melayu? Dalam sejarah di ketahui bahwa Gelar patih pertamakali atau mayoritas merupakan Gelar orang-orang penting atau raja-raja Dayak Kalimantan Barat.
Di sumatra sendiri tidak ada gelar patih. Dimasa lalu yaitu masa dimana
kepercayaan adat ( Kaharingan ), budaya Kayau dan budaya rumah Panjang (
Budaya Kayau dan Rumah Panjang muncul secara bersamaan tujuan rumah
panjang ini di buat agar kekuatan terkonsentrasi untuk menghadapi kayau ) belum di kenal oleh bangsa Dayak. para pelaut Dayak Kendayan
telah menyusuri pantai-pantai pulau Borneo baik ke arah utara maupun ke
arah selatan. Pelaut Dayak Kendayan yang sampai ke utara Borneo
membangun pemukiman di daerah sarawak timur dan Brunei sekarang ini,
keturunannya di kenal dengan sebutan suku Dayak Kedayan. sementara yang menyusuri pantai ke arah selatan borneo membangun pemukiman di tengah-tengah Dayak Biaju / Ngaju, orang Dayak Kendayan ini masih memakai Bahasa Dayak Kendayan. Karena Bahasa Dayak kendayan mirip dengan bahasa melayu, oleh orang Ngaju di kira orang Melayu ( mengingat pada waktu itu istilah Kendayan / Kannayatn sendiri belum terbentuk). Dan Patih Masih adalah satu-satunya petinggi Dayak Kendayan di tanah rantau di daerah itu. Jadi pada dasarnya warga yang didefenisikan sebagai melayu oleh orang Ngaju itu tidak lain dan tidak bukan merupakan keturunan para pelaut atau perantau Dayak Kendayan yang tidak kembali.
Dan mengembangkan adat tradisi serta bahasa Dayak Kendayan yang sampai
saat ini dapat disaksikan pada keturunannya yang tidak mau menganut
Islam, yang di sebut suku Dayak Meratus / Bukit. Dan Bahkan penamaan sebuah sungai besar di daerah Kalimantan Tengah yang oleh masyarakat Dayak Biaju sering disebut batang Biaju Kecil, dengan nama sungai Kapuas, juga merupakan nama pemberian oleh para pelaut atau perantau Dayak Kendayan ( karena waktu pertamakali mereka datang, nama sungai tersebut tidak diketahui oleh mereka ), sama seperti nama sungai besar di daerah asalnya yaitu sungai kapuas di kalimantan Barat. Intinya bahwa suku Banjar merupakan keturunan Blasteran antara Dayak Kendayan dengan Dayak Biaju, Dayak Maanyan dan sedikit pendatang Jawa.
Budaya Telinga Panjang
Di masa sekarang Budaya unik masyarakat Dayak yang satu ini hanya dapat disaksikan pada warga Dayak Stanmenras / rumpun Apokayan (Kenyah, Kayan dan Bahau) serta sedikit warga Dayak Iban dan Dayak Punan
saja, sementara pada masyarakat Dayak Lainnya sudah tidak ditemukan.
Apakah Masyarakat Dayak lain tidak punya budaya ini? Sejujurnya hampir
semua sub etnis Dayak dimasa lampau punya tradisi ini hanya saja sudah
lama di tinggalkan. Kebanyakan tradisi ini ditinggalkan sejak kedatangan
orang luar ke kalimantan, yaitu sejak datangnya para pelaut India dan
arab serta China atau etnis Indonesia lainnya ke kalimantan, dengan
alasan merasa malu. namun tidak sedikit yang meninggalkan budaya ini di
masa awal penjajahan Belanda hingga dimasa penjajahan Jepang. Pada
masyarakat Dayak Kendayan yang berdialek Banyadu
misalnya, dari cerita orang tua di kampung Tititareng kecamatan Menyuke
darit disebutkan bahwa dimasa penjajahan Jepang masih terdapat seorang
nenek yang mempertahankan Telinga panjangnya. Sepeninggalan Nenek
tersebut maka berakhirlah masa budaya telinga panjang pada masyarakat Dayak Banyadu. Ada satu hal yang menarik yang mungkin menjadi alasan kenapa masyarakat Dayak rumpun Apokayan
masih setia mempertahankan budaya telinga panjang ini, Jika kita
perhatikan bahwa kebanyakan sesepuh adat atau orang yang dituakan atau
orang-orang penting dalam strata sosial adat masyarakat Dayak rumpun apokayan
ini kebanyakan adalah kaum wanita. Kaum wanita umumnya dikenal
cenderung sangat teguh mempertahankan kebiasaan atau tradisi yang
berkembang dalam masyarakat ketimbang kaum pria, apalagi jika tradisi
tersebut sudah dianggap sebagian dari adat yang harus dilestarikan, maka
sudah tentu akan di pertahankan, dan terutama jika para orang penting
yang umumnya kaum wanita tersebut selalu menganjurkan agar kaum wanita
tetap memanjangkan telinganya. Namun meski demikian seiring perkembangan
jaman hal tersebut akhir-akhir ini nampaknya sudah berada pada kondisi
yang kritis dimana banyak kaum wanita masyarakat Dayak rumpun apokayan ini meninggalkan budaya telinga panjang dengan cara memotongnya.
Budaya Tato
Tatto pada masyarakat Dayak dimasa lampau merupakan simbol fisik yang
secara langsung memperlihatkan strata seseorang dalam masyarakat. Baik
kaum pria maupun kaum wanita sama-sama mempunyai tatto. Sementara
motif-motif gambar tatto juga disesuaikan dengan strata sosial yang
berlaku di masyarakat. Gambar tatto antara orang biasa berbeda dengan
orang-orang penting seperti para temenggung, para Baliatn, para Demang
dan para Panglima perang. Dimasa kini budaya ini sepertinya juga sudah
banyak ditinggalkan, dengan berbagai alasan, meski cukup banyak juga
generasi Dayak yang sadar untuk terus mengembangkannya.
Kayau
Kata Kayau bermakna sebagai kegiatan perburuan kepala tokoh-tokoh masyarakat yang menjadi musuh, dimana kepala hasil buruan tersebut akan digunakan dalam ritual Notokng ( Istilah DayakKendayan
). Jadi pada dasarnya yang dimaksud dengan Kayau bukanlah perang antar
suku seperti perang dalam kerusuhan-kerusuhan yang pernah terjadi di Kalimantan
beberapa waktu yang lalu, yang korbannya tidak pandang bulu apakah
seorang biasa atau seorang yang berpengaruh pada kelompok musuh. Kayau
tidak sembarangan di lakukan, demikian juga tokoh-tokoh musuh yang di
incar, semua dipertimbangkan dengan penuh seksama. Sementara itu, jumlah
pasukan Kayau yang akan bertugas di medan minimal tujuh orang. Dimasa
silam Kayau umumnya dilakukan terhadap tokoh-tokoh musuh yang memang
kebanyakan berbeda sub etnis Dayak-nya. Peristiwa Kayau yang terekam
sejarah dan cukup terkenal adalah peristiwa Kayau Kepala Raja Patih Gumantar dari kerajaan Mempawah (Kerajaan Dayak Kendayan ) Kalimantan Barat oleh pasukan Kayau Dayak Biaju / Ngaju Kalimantan tengah, meskipun cerita yang beredar di kalangan masyarakat Dayak Kendayan dimasa kini menyebutkan bahwa nama Biaju ini sering di katakan sebagai Dayak Bidayuh sungkung, dan hal ini diperparah oleh para penulis buku-buku tentang sejarah Kalimantan Barat
yang menerima begitu saja cerita dalam Masyarakat tanpa ditelaah lebih
lanjut dan bahkan beberapa penulis dengan gampangnya menyebutkan bahwa Dayak Biaju
ini punya pulau tersendiri di luar Borneo hanya karena mendengar cerita
rakyat yang mengatakan bahwa mereka datang memakai Ajong / Kapal,
padahal sebenarnya satu pulau dengan Dayak Kendayan hanya saja untuk sampai ke daerah asalnya memang melalui sungai dan laut. Hal ini terjadi ditengarai oleh awalan kata Biaju dan Bidayuh yang sama-sama diawali oleh kata "Bi" dan kedua-duanya mempunyai bunyi kata yang hampir mirip (BI-AJU dan BI-dAYUh), padahal yang namanya cerita lisan pasti cukup beresiko mengalami perubahan. Namun yang sangat pasti dan jelas kata Biaju secara tegas di sebutkan dalam cerita tersebut.[8][9]
Senjata Sukubangsa Dayak
- Sipet / Sumpitan. Merupakan senjata utama suku dayak. Bentuknya bulat dan berdiameter 2-3 cm, panjang 1,5 - 2,5 meter, ditengah-tengahnya berlubang dengan diameter lubang ¼ - ¾ cm yang digunakan untuk memasukan anak sumpitan (Damek). Ujung atas ada tombak yang terbuat dari batu gunung yang diikat dengan rotan dan telah di anyam. Anak sumpit disebut damek, dan telep adalah tempat anak sumpitan.
- Lonjo / Tombak. Dibuat dari besi dan dipasang atau diikat dengan anyaman rotan dan bertangkai dari bambu atau kayu keras.
- Telawang / Perisai. Terbuat dari kayu ringan, tetapi liat. Ukuran panjang 1 – 2 meter dengan lebar 30 – 50 cm. Sebelah luar diberi ukiran atau lukisan dan mempunyai makna tertentu. Disebelah dalam dijumpai tempat pegangan.
- Mandau. Merupakan senjata utama dan merupakan senjata turun temurun yang dianggap keramat. Bentuknya panjang dan selalu ada tanda ukiran baik dalam bentuk tatahan maupun hanya ukiran biasa. Mandau dibuat dari batu gunung, ditatah, diukir dengan emas/perak/tembaga dan dihiasi dengan bulu burung atau rambut manusia. Mandau mempunyai nama asli yang disebut “Mandau Ambang Birang Bitang Pono Ajun Kajau”, merupakan barang yang mempunyai nilai religius, karena dirawat dengan baik oleh pemiliknya. Batu-batuan yang sering dipakai sebagai bahan dasar pembuatan Mandau dimasa yang telah lalu yaitu: Batu Sanaman Mantikei, Batu Mujat atau batu Tengger, Batu Montalat.
- Dohong. Senjata ini semacam keris tetapi lebih besar dan tajam sebelah menyebelah. Hulunya terbuat dari tanduk dan sarungnya dari kayu. Senjata ini hanya boleh dipakai oleh kepala-kepala suku, Demang, Basir.
Totok Bakakak (kode) yang umum dimengerti Sukubangsa Dayak
- Mengirim tombak yang telah di ikat rotan merah (telah dijernang) berarti menyatakan perang, dalam bahasa Dayak Ngaju "Asang".
- Mengirim sirih dan pinang berarti si pengirim hendak melamar salah seorang gadis yang ada dalam rumah yang dikirimi sirih dan pinang.
- Mengirim seligi (salugi) berarti mohon bantuan, kampung dalam bahaya.
- Mengirim tombak bunu (tombak yang mata tombaknya diberi kapur) berarti mohon bantuan sebesar mungkin karena bila tidak, seluruh suku akan mendapat bahaya.
- Mengirim Abu, berarti ada rumah terbakar.
- Mengirim air dalam seruas bambu berarti ada keluarga yang telah mati tenggelam, harap lekas datang. Bila ada sanak keluarga yang meninggal karena tenggelam, pada saat mengabarkan berita duka kepada sanak keluarga, nama korban tidak disebutkan.
- Mengirim cawat yang dibakar ujungnya berarti salah seorang anggota keluarga yang telah tua meninggal dunia.
- Mengirim telor ayam, artinya ada orang datang dari jauh untuk menjual belanga, tempayan tajau.
- Daun sawang/jenjuang yang digaris (Cacak Burung) dan digantung di depan rumah, hal ini menunjukan bahwa dilarang naik/memasuki rumah tersebut karena adanya pantangan adat.
- Bila ditemukan pohon buah-buahan seperti misalnya langsat, rambutan, dsb, didekat batangnya ditemukan seligi dan digaris dengan kapur, berarti dilarang mengambil atau memetik buah yang ada dipohon itu.
Tradisi Penguburan
Tradisi penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak
diatur tegas dalam hukum adat. Sistem penguburan beragam sejalan dengan
sejarah panjang kedatangan manusia di Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan :
- penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
- penguburan di dalam peti batu (dolmen)
- penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.
Pada umumnya terdapat dua tahapan penguburan:
- penguburan tahap pertama (primer)
- penguburan tahap kedua (sekunder).
Penguburan sekunder
Penguburan sekunder tidak lagi dilakukan di goa. Di hulu sungai Bahau dan cabang-cabangnya di Kecamatan Pujungan, Malinau,
Kaltim, banyak dijumpai kuburan tempayan-dolmen yang merupakan
peninggalan megalitik. Perkembangan terakhir, penguburan dengan
menggunakan peti mati (lungun) yang ditempatkan di atas tiang atau dalam
bangunan kecil dengan posisi ke arah matahari terbit.
Masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga cara penguburan, yakni :
- dikubur dalam tanah
- diletakkan di pohon besar
- dikremasi dalam upacara tiwah.
Prosesi penguburan sekunder
Prosesi penguburan sekunder
- Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai simbol pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun atau beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.
- Ijambe adalah prosesi penguburan sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan ditempatkan dalam satu wadah.
- wara
- marabia
- mambatur (Dayak Maanyan)
- kwangkai (Dayak Benuaq)
- Cfr. Tom Harrisson, "The Prehistory of Borneo", dalam Pieter van de Velde (ed.), Prehistoric Indonesia a Reader (Dordrecht-Holland: Foris Publications, 1984), hlm. 299-322
- Peter Bellwood, “The Prehistory of Borneo”, dalam Borneo Research Bulletin, 24/9 (1992), hlm. 7-13
- Kathy MacKinnon, The Ecology of Indonesian Series Volume III: The Ecology of Kalimantan, (Singapore: Periplus Editions Ltd., 1996), hlm. 255-363
- bdk. P.J. Veth, "The Origin of the Name Dayak", dalam Borneo Research Bulletin, 15/2 (September 1983), hlm. 118-121
- Fridolin Ukur, "Kebudayaan Dayak", dalam Kalimantan Review, 22/I (Juli-Desember 1992), hlm. 3-10
- Keragaman Suku Dayak di Kalimantan, Institut Dayakologi, Pontianak
- Edi Petebang, Dayak Sakti, Institut Dayakologi
- Edi Petebang, Eri Sutrisno, Konflik Etnis di Sambas, ISAI, Jakarta
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak
jadi urang banjar ada darah dayaknya juga kah???
BalasHapusmun urang kutai ada juakah darah dayaknya??
bingung aku melihat cerita di atas,..
liwar pusang aku
Iya Banjar juga ada darah dayaknya, seperti yg dijelaskan di atas.
BalasHapusUrang kutai jua ada darah dayak, ingat urang kutai itu urang HALOK (dayak yg Islam).. seperti tulisan di atas sebagai berikut kutipannya:
Islam ke borneo di sebarkan oleh orang-orang arab atau gujarat, namun mayoritas oleh orang melayu sumatra, karena itu oleh orang Dayak agama islam disebut agama melayu, istilah islam sendiri jaman dahulu tidak sepopuler istilah " agama melayu". Sejak itulah setiap orang Dayak pesisir yang masuk islam disebut masuk melayu atau jadi orang melayu. namun oleh orang Dayak pedalaman, saudara mereka yang masuk islam disebut sebagai " senganan" di kalimantan bagian barat dan "halog" di kalimantan bagian timur. Dikarenakan adat budaya Dayak umumnya bertentangan dengan agama islam maka hal ini membuat masyarakat Dayak pesisir yang telah menjadi islam tadi meninggalkannya dan mengadopsi adat budaya para pendahwah islam ( orang melayu) namun tidaklah semua adat aslinya di tinggalkan, cukup banyak juga adat asli ( adat budaya Dayak ) yang di modifikasi agar selaras dengan islam, seperti tepung tawar, betangas, tumpang seribu dan lain-lain. selain masyarakat Dayak pesisir pantai, masyarakat Dayak yang tinggal di kota-kota kerajaan juga akhirnya masuk islam dengan alasan mengikuti jejak Rajanya. maka mulailah adat budaya melayu merasuki adat budaya Dayak dalam keraton-keraton. Pada umumnya kerajaan-kerajaan di kalimantan di dirikan oleh orang-orang yang berdarah daging Dayak asli seperti pada kerajaan mempawah oleh Patih Gumantar, kerajaan Kutai ( Kerajaan Dayak Tunjung - Dayak Benuaq ) oleh Kundung atau Kudungga dan kerajaan-kerajaan lain. sementara kerajaan-kerajaan yang di dirikan oleh manusia-manusia yang berdarah daging blasteran Dayak dengan pendatang seperti kerajaan pontianak ( blasteran Dayak dan arab ). kerajaan sanggau, matan, ketapang dan sintang ( oleh blasteran Dayak Jawa ).
ya memang benar suku kutai memang "Dayak" sebutan kutai sendiri dikarenakan telah memeluk Islam di Tanah Kutai.... lebih akrab kalau saudaranya dari dayak menyebutnya " halok " sebutan buat saudraanya ( dayak ke islam / kutai)
BalasHapusmantap gan dngan bgini pengetahuan kita tantang asal muasal suku,dan budaya kita sendiri bisa bertambah luas sehingga kita dapat lebih memahami,menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai leluhur kita.
BalasHapusI Like This,
Jika anda ingin mendapat kan Angka hasil idimatisi langsung dari alam ghaib atau dengan kata lain ( HASIL RITUAL ) selama Lima (5) kali putaran anda bisa menangkan, silahkan bergabung dengan Menghubungi langsung Mbah Hiban di: 085218378595
BalasHapus