ALKISAH, pada zaman dahulu hiduplah sepasang suami isteri. Suami bernama Datu. Isterinya bernama Dara.
Setelah
sekian tahun membina rumah tangganya, maka pasangan ini dikaruniai
seorang anak perempuan yang bernama Ayaakng Serakaatn Tana. Ia
dibesarkan dengan penuh kasih sayang oleh kedua orang tuanya hingga
tumbuh sebagai gadis cantik jelita.
Kini
tiba saatnya ia berumah tangga. Ayaakng dikawinkan dengan seorang
lelaki yang konon berasal dari langit. Lelaki itu bernama Serempulukng
Usuk Langit.
Beberapa tahun kemudian pasangan ini dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi namanya Kilip oleh kakeknya Datu.
Kebahagian pasangan Ayaakng dan Serempulukng ini berakhir dengan perceraian, setelah Kilip beranjak dewasa.
Sejak
saat itulah Kilip hidup bersama dengan kakek dan neneknya Datu dan
Dara. Sedangkan ibu Kilip sendiri pergi dan tinggal di bawah tanah
bersama dengan Siriq Sincikng.
Konon
pada suatu hari Datu pamit kepada isterinya untuk pergi. Ia katakan
kepada isterinya, “Saya akan mencari buah yang aneh!” Tetapi sejak
kepergiannya itu, Datu tidak pernah kembali lagi.
Pada suatu hari setelah sekian lama menunggu kakeknya, akhirnya Kilip mendapat tahu kalau kakeknya itu telah mati.
Menurut
sahibul hikayat, konon dalam kematian pertama dari orang Dayak Tonyooi,
sebagai ungkapan rasa berkabungnya, maka Dara harus memotong pendek
rambutnya dan menutup mata dengan getah kayu, agar tidak bisa melihat
laki-laki lain.
Selama berkabung itu, Dara harus mengenakan baju dengan lengan pendek sebatas siku saja dan pakaian bawah yang disebut ulaap setinggi lutut. Adapun lama masa berkabung yang dijalani oleh Dara adalah 7 tahun, 7 bulan, dan 7 hari.
Pada
suatu hari Dara berkata kepada cucunya, “Kilip, kamu adalah sosok
manusia yang pandai dan cerdas, dan masa berkabung nenekmu ini akan berakhir, jika kamu bisa membawa kepala manusia yang masih segara kepada saya.”
Atas
perintah neneknya ini, maka Kilip berusaha mencari kepala manusia.
Setelah mendapatkan kepala, maka ia membawanya pulang. Tetapi ternyata
Kilip salah mengerti! Sang nenek berkata kepada cucunya itu bahwa,
“Semuanya ini tidak sesuai dengan kepala yang dimaksudkan oleh sang
nenek!”
Sambil
mereka-reka tentang berbagai macam kepala manusia, maka Kilip kembali
mencari kepala manusia. Namun kali ini, Kilip sudah sedikit mendapat
petunjuk dari neneknya. Hanya saja tidak jelas bagi Kilip, kepala
manusia macam apa yang diperlukan untuk mengakhiri masa berkabungya itu.
Pada
suatu hari setelah mendapatkan kepala manusia yang dibuang oleh seorang
pencari ikan di sungai, maka Kilip memungut dan membawa serta
memberikan kepala itu kepada neneknya dengan hati riang.
Tetapi
apa kata Dara setelah menerima kepala manusia itu, “Kilip, kamu memang
cucuku yang paling cerdik, hanya sayang nenekmu ini menginginkan kepala
manusia yang masih baru, yang darahnya masih menetes.”
Tentu
saja Kilip sangat terkejut mendengarkan penjelasan neneknya itu. Dan
kekagetan Kilip tersebut sempat diketahui oleh neneknya.
Lantas
Nenek Dara berkata, “Jika kamu memang laki-laki yang cerdik, cobalah
panggil pengawal kakekmu dulu, mereka itu 8 orang bersaudara. Bila kamu
ingin mencari kepala manusia yang baru, maka ajaklah mereka semua”.
Nenek Dara selalu memberikan semangat keberanian kepada cucunya. Maka
sejenak Kilip termenung memikirkan hal-hal yang dikatakan neneknya itu.
Hatinya berkecamuk setiap kali memandang mandaunya yang digelari melelaaq.
Suatu bayangan yang mengerikan, yaitu memenggal kepala manusia
hidup-hidup. Itu bukanlah perkara gampang dan sepele adanya. Manakala
Kilip membayangkan peristiwa itu terjadi nantinya, maka ia sangat ngeri.
Tetapi
akhirnya Kilip memutuskan untuk melaksanakan tugas dari neneknya itu.
Ia melaksanakan tugasnya itu setelah ia menemui para pengawal kakeknya.
Mereka bersama-sama bertualang ke beberapa tempat untuk mengadakan balaaq.
Kilip hampir putus asa, karena telah sekian lama balaaq bersama pengawal kakeknya itu, namun mereka tak kunjung mendapatkan kepala manusia.
Dirongrong
oleh perasaan putus asa, maka kini Kilip memutuskan untuk pulang saja.
Dan di puncak pengambilan keputusasaan itulah, rombongan balaaq berada di sungai Liasi.
Lantas
mereka melihat seorang lelaki yang sedang mengangkat bubunya dari
sungai. Tanpa pikir panjang, maka Kilip langsung mengayunkan mandau melelaaq-nya tepat pada leher lelaki yang bernama Tuhaatn Ranga.
Setelah itu Kilip pulang. Setibanya di rumah Kilip berkata kepada Neneknya, “Inikah kepala manusia yang dimaksudkan Nenek?”
Lantas
Kilip menyerahkan kepala yang masih meneteskan darahnya itu. Neneknya
menerima kepala itu dengan penuh kegembiraan, kebahagiaan dan kepuasan
batin. Sang Nenek tampak sangat ceria.
Selanjutnya dipersiapkanlah pelaksanaan upacara adat guna mengakhiri masa perkabungan, yang disebut Pesengkeet Puaas Utaas.
Kilip
dan kawan-kawannya membuat perlengkapan ritualnya dan memanggil Renootn
Biyowo dan Goncaaq Lenciaakng untuk memimpin upacara adat tersebut.
Di
puncak upacara adat ini, Dara dimandikan dengan air yang telah dicampur
dengan darah babi, darah ayam dan darah kepala manusia dari hasil balaaq cucunya yang pemberani dan cerdasa itu.
Yang
terakhir pemimpin upacara memutuskan tali ikat kepala, tali ikat rambut
dan tali yang diikatkan pada pergelangan tangan Nenek Dara.
Tali-tali itu merupakan pertanda masa berkabungnya. Dan setelah semua tali itu diputuskan dalam upacara adat itu, maka berakhirlah pula masa berkabung Nenek Dara.
Sumber cerita:
Sumber cerita:
http://djlantang09.blogspot.com/2011/03/asal-usul-berburu-kepala-manusia-ayau.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar